BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan proses di mana suatu bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk menjalankan kehidupan, memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, pelestarian nilai-nilai tradisi masyarakat yang merupakan modal dasar untuk memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan bangsa. Akan tetapi sampai saat ini pendidikan belum sepenuhnya berhasil membentuk individu yang memiliki keterampilan resolusi konflik serta gagal membentuk karakter, watak kepribadian yang berdampak pada degradasi moral dan kehancuran bangsa.
Sejak Indonesia merdeka, kebudayaan di berbagai tempat tidak mendapatkan tempat yang layak dan tidak memiliki ruang yang cukup untuk diekspresikan sehingga melahirkan berbagai akibat yang saat ini dialami bersama : gerakan pemisahan diri dari pusat, konflik sosial yang meluas, kredibilitas negara yang rendah, teror, dan masalah etnisitas (Abdullah 2006 : 63). Abdullah mengemukakan bahwa mengerasnya batas-batas kelompok (group boundaries) sebagai akibat langsung dari kesalahan sejarah dalam pengelolaan keragaman budaya. Mulai dari manajemen keragaman budaya di Indonesia hingga masalah ruang politik bagi keragaman budaya yang akhirnya menjadikan kita sekarang dihadapkan pada jalan panjang penataan persatuan dalam keragaman budaya (Abdullah 2006 : 65-79).
Setelah rezim Orde Baru berakhir, masalah konflik sosial yang disebabkan oleh perbedaan agama dan etnisitas yang belum hilang dari bumi Indonesia. Bahkan di era otonomi daerah ada kecenderungan agama dan etnisitas menguat. Lokalitas dan kembalinya etnisitas menumt Kalidjernih (2009) merupakan salah satu dampak globalisasi, selain homogenisasi dan hibridisasi. Di era globalisasi, identitas nasional tetap kuat, khususnya dalam hal yang bertalian dengan hak-hak legalitas dan warganegara, tetapi identitas lokal, regional dan komunitas menjadi semakin signifikan.
Pada tingkat nasional, fenomena agama dan etnisitas dalam dinamika politik lokal di Indonesia dapat dipahami sebagai keinginan untuk menunjukkan eksistensi dan identitas yang terkait dengan permasalahan ketidakadilan yang selama ini mereka rasakan dan terpaksa mereka terima. Pada tingkat lokal, akar permasalahan etnisitas biasanya berhulu pada aspek yang berkaitan dengan ikatan primordial, terutama suku dan agama, serta berkaitan dengan aspek keruangan di mana para pelaku berada (biasanya elite dan institusi lokal) yang membutuhkan ruang gerak (space) untuk mewujudkan eksistensi dan identitasnya sesuai dengan keinginan mereka (Setyanto dan Pulungan 2009 : 20).
Selanjutnya bangsa Indonesia merupakan bangsa yang pluralistik dengan keanekaragaman suku bangsa (etnis), budaya, adat istiadat, bahasa dan agama. Setiap suku bangsa atau etnis memiliki identitas kebudayaan, adat istiadat, dan bahasa sendiri yang khas. Keanekaragaman suku bangsa atau etnis dengan keunikan kebudayaan dan adat istiadatnya merupakan kekayaan bangsa Indonesia. Namun di lain sisi keanekaragaman dan perbedaan tersebut merupakan potensi untuk memicu terjadinya konflik budaya dan konflik sosial yang pada akhirnya mengancam terjadinya disintegrasi pada bangsa Indonesia, jika tidak mampu dikelola dengan baik. Hasil studi dari Suwarsih Warnaen (2002 : 44) menunjukan bahwa salah satu masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia sebagai bangsa multietnis adalah masalah integrasi nasional. Ekspresi rasa kesukubangsaan tampak masih sering menimbulkan ketegangan dalam hubungan antar suku bangsa.
Konflik adalah aspek instrinsik dan tidak dihindari dalam perubahan nilai. Konflik merupakan ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai dan kenyakinan yang timbul oleh perubahan sosial. Namun cara kita menangani konflik adalah persoalan kebiasaan dan pilihan. Setiap pilihan resoluasi konflik yang diambil selalu mempertimbangkan kesesuaian-kesesuaian budaya dan lingkungan dimana resolusi konflik itu dipergunakan, sehingga dapat menghindari hambatan-hambatan kultural dan structural sosial (Salahudin, 2002;34).Sementara itu perkembangan kreatifitas individu, menurut Simmel (Munandar, 1988 : 65-66) menuntut untuk menginternalisasikan produk budaya obyektif yang ada dalam kesadaran subyektifnya meskipun kenyataan subyektif ini jarang sempurna dan mungkin justru menghasilkan ketegangan-ketegangan baru. Meskipun kreativitas individu ini dapat menimbulkan ketegangan baru atau konflik, namun konflik dapat diarahkan sebagai pemeliharaan solidaristas, menciptakan aliansi, mengaktifkan peranan individu yang terisolasi dan sebagai sarana komunikasi sehingga posisi masing-masing lawan yang berkonflik saling diketahui.
Konflik sosial cenderung di nilai banyak orang sebagai sesuatu yang buruk. Pandangan seperti ini ada benarnya walaupun tidak selumhnya, karena secara teoritik konflik di samping memiliki beberapa dampak negatif ternyata konflik juga memiliki sejumlah fungsi yang positif. Dari segi negatif, konflik menjadi pengganggu ketertiban sosial, menimbulkan inefisiensi, menciptakan ketidakstabilan, menyulut persengketaan dan menyebabkan kehancuran. Sedangkan segi positifnya, konflik dapat menjadi pencegah bagi terciptanya konflik yang lebih serius, sebagai pemacu kreativitas dan inovasi masyarakat, sarana mempercepat kolusi sosial, dan mempakan alat saling kendali antar orang atau kelompok, antar pemerintah dan masyarakat yang diperintahnya (Amstuts, dalam Harjadmo, 1996 : 37)
Konflik dalam bentuk kekerasan terjadi bukan hanya dalam suatu masyarakat atau negara, tetapi juga di kampus, meskipun dalam skala yang sedang. Konflik atau kekerasan diantara mahasiswa akhir-akhir ini meningkat. Peningkatan konflik/kekerasan ini pada umumnya merupakan suatu masalah yang serius, misalnya : membawa senjata tajam, perkelahian fisik, mengancam mahasiswa lain dan dosen, menggunakan narkotika, dan sebagainya. Konflik atau kekerasan antar mahasiswa di Indonesia telah meningkat dalam bentuk perkelahian fisik secara masal atau tawuran yang merupakan masalah yang paling pelik bagi perguruan tinggi. Selain itu, banyak mahasiswa yang juga terlibat dalam penyalahgunaan narkoba dan obat-obat terlarang, perampokan, perusakan fasilitas kampus dan fasilitas umum serta kekerasan yang merusak lainnya, bentuk lainnya dalam kegiatan perguruan tinggi sehari-hari yang mengancam mahasiswa lainnya dan dosen baik secara fisik maupun psikologis.
Ketika mahasiswa pada umumnya mempunyai konflik, mereka cenderung untuk menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalahnya. Banyak diantara mereka tidak mampu menyelesaikan konflik secara konstruktif. Dalam banyak kasus, konflik antara mahasiswa dan dosen diselesaikan oleh pihak yang memiliki otoritas. Keterlibatan pihak otoritas untuk memecahkan konflik antar mahasiswa dan dosen terjadi karena dalam banyak kasus tidak ada yang mengajari/memberikan contoh kepada mahasiswa tentang bagaimana menyelesaikan konflik dalam cara-cara yang konstruktif melalui pendekatan langsung (seperti melalui pembelajaran).
Menurut Freud (1856-1939) manusia itu bertingkahlaku atas dasar motif yang berada dalam pikiran alam bawah sadar “unconscious mind", sehingga seringkali manusia berbuat kejahatan atas pikiran yang tidak disadarinya. Di lain sisi dapat dikatakan bahwa tingkah laku manusia terjadi atas dasar dorongan seksual "sexual drive") yang mengarah kepada prinsip kesenangan (pleasure principle) yang dikendalikan oleh id-nya masing-masing. Sementara itu ego manusia memberikan pertimbangan terhadap tingkah laku manusia atas dasar prinsip realitas (reality principle), sedangkan super ego memberikan pertimbangan terhadap tingkah laku manusia atas dasar prinsip moral (morality principle) (Wade and Tavris, 1992; Craig, 1986; Ross and Vasta, 1990).Ini berarti bahwa kadar id, ego dan super ego setiap manusia berbeda-beda, sehingga manusia yang cenderung pada kejahatan akan dikuasai oleh id-nya, sementara manusia yang cenderung pada kebaikan akan dikuasai oleh super-egonya. Idenya yang kontroversial adalah cara pandangnya terhadap perilaku manusia yang menurutnya didasarkan oleh keinginan yang tidak disadari (unconscious desires) dan pengalaman masa lalu manusia berupa sexual desires dan sexual expression pada masa kanak-kanaknya.
Thomas Lickona (1992) mendukung pendapat Freud dengan mengatakan terdapat sepuluh tanda dari perilaku manusia yang menunjukkan arah kehancuran suatu bangsa yaitu : meningkatnya kekerasan di kalangan remaja, ketidakjujuran yang membudaya, semakin tingginya rasa tidak hormat kepada orangtua, guru dan figur pemimpin, pengaruh peer group terhadap tindakan kekerasan, meningkatnya kecurigaan dan kebencian, penggunaan bahasa yang memburuk, penurunan etos kerja, menurunnya rasa tanggungjawab individu dan warga negara, meningginya perilaku merusak diri dan semakin kaburnya pedoman moral.
Oleh sebab itu perlu dilakukan suatu upaya penanggulangan melalui dunia pendidikan, Horace Mann (1796-1859) mengatakan bahwa sekolah negeri haruslah menjadi penggerak utama dalam pendikan yang bebas (free public education), dimana pendidikan sebaiknya bersifat universal, tidak memihak (non sectarian), dan bebas. Pendapat tersebut mendapatkan dukungan dari Mann maupun John Dewey, seorang filsuf pendidikan, tujuan utama pendidikan adalah sebagai penggerak efisiensi sosial, pembentuk kebijakan berkewarganegaraan (civic virtue) dan penciptaan manusia berkarakter, jadi bukan untuk kepentingan salah satu pihak tertentu (sectarian ends).
Namun disisi lain, menurut Kosasih Djahiri (Budimansyah dan Syaifullah, 2006 : 8) Visi pendidikan nilai-moral disamping membina, menegakkan dan mengembangkan perangkat tatanan nilai, moral dan norma luhur adalah juga pencerahan diri dan kehidupan manusia secara kaffah dan berahklak mulia serta kehidupan masyarakat Madaniah (Civil Society). Pendidikan nilai, moral dan norma membawakan misi : (1) memelihara/melestarikan dan membina nilai, moral dan norma menjadi lima sistem kehidupan yang mengikat (sistem nilai, sistem budaya, sistem sosial, sistem personal, dan sistem organik); (2) mengklarifikasi dan merevitalisasi sub (1) sebagai "moral conduct" diri dan kehidupan manusia/masyarakat/bangsa/dunia dimana yang bersangkutan berada; 3) memanusiakan (humanizing), membudayakan (civilizing) dan memberdayakan (empowering) manusia dan kehidupannya secara utuh (kaffah) dan beradab (norm/value based). Insan/masyarakat bermoral (morally mature/healthy person) dan masyarakat bangsa berkepribadian; (4) membina dan menegakkan "law and order" serta tatanan kehidupan yang manusiawi-demokratis-taat azas; (5) khusus dinegara kita, disamping hal-hal diatas juga membawakan misi pembinaan dan pengembangan manusia/masyarakat/bangsa yang modern namun tetap berkepribadian Indonesia (sebagaimana kualifikasi UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Paradigma lain yang mengharuskan pendidikan nilai, moral dan norma adalah : (1) kehidupan manusia menurut Talkot Parsons merupakan kehidupan yang organis (lahir-tumbuh-berkembang-mati/hilang), selalu memiliki lima sistem yang norm-based (sistem nilai, sistem budaya, sistem sosial, sistem personal, dan sistem organik) yang selalu mengacu pada salah satu atau sejumlah sumber norma baku yang hidup/diakui masyarakat yang bersangkutan. Khusus dalam masyarakat Indonesia sumber norma baku itu meliputi norma : agama (sebagai syariah yang normatif-imperatif dan agama sebagai norma budaya kehidupan beragama), norma budaya/cultural, hukum positif (regional-nasional-internasional), hukum/dalil keilmuan dan norma metafisis. Kelima sistem kehidupan organis yang diutarakan diatas ada dalam setiap aspek kehidupan (Ipoleksosbudag) dan diwarnai oleh salah satu atau sejumlah norma baku serta hidup dalam lingkaran kehidupan (diri pribadi dan keluarga; masyarakat sekitar dan bangsa-negara)dimana manusia berada, sehingga jika dijumlahkan sistem nilai-moral jumlahnya tak terhingga; (2) maka oleh karenanya lahirlah postulat bahwa kehidupan manusia sarat dengan perangkat nilai-moral dari pelbagai sumber norma; yang berakibat adanya keharusan buat manusia untuk mampu : memahami, menyerap/mempribadikan, menganut, memilih dan memilah/menentukan dan melaksanakan pilihan nilai-moral yang menurutnya paling baik/sesuai/fungsional. Kemahiran menentukan/menampilkan kelayakan pilihan nilai-moral inilah yang menentukan kualifikasi insan bermoral-tidaknya seseorang; (3) bahwa agama sebagai rujukan normatif utama bukan hanya karena tuntutan normatif-imperatif semata melainkan juga karena secara faktualnya manusia/masyarakat Indonesia selalu menyatakan dirinya beragama (sekalipun hanya "akuan" saja) serta selalu menetapkan rujukan kelayakan/kepatutan dari rujukan norma dan budaya agama (haram, halal, dosa, pahala). Bahkan sejumlah penelitian keilmuan (a.l. Prof. DR. Yus Rusyana) menentukan temuan bahwa budaya Indonesia umumnya diwarnai oleh rujukan normatif keagamaan/Islam. (Budimansyah dan Syaifullah, 2006 : 53-54)
Namun kenyataan yang terjadi Indonesia khususnya pendidikan karakter yang diungkapkan oleh Doni Koesoema A (2007) dalam bukunya "Pendidikan Karakter" mencatat alasan kemunduran pendidikan karakter, antara lain : (1) adanya perbedaan pandangan dan visi tentang pendidikan karakter sehingga tidak semua orang sepakat dan sepaham tentang pendidikan karakter; (2) filosofis positivisme yang membedakan antara fakta ilmiah, teruji didukung bukti dengan nilai yang bagi kaum positivistik dipahami hanya sekedar ekspresi perasaan bukan sebagai kebenaran obyektif; (3) personalisme yang merayakan nilai subyektif. Otonomi, dan rasa tanggung jawab pribadi; (4) pluralisme sosio-politik-kultural.
Sejalan dengan pendapat tersebut, maka dalam penelitian sejarah yang dilakukan oleh Bigalke (Jamie S.Davidson & David Henley,Sandra Moniaga, 2010 : 43-44), menyingkapkan bahwa konflik dan ketidakstabilan bahkan dalam tata agraria yang tampaknya paling indah sekalipun. Hal ini menegaskan bahwa gagasan tentang adat sebagai sebuah jaminan perdamaian dan keselarasan adalah menyesatkan bukan saja sebagai sebuah preskripsi bagi masa depan, melainkan juga sebagai interpretasi tentang masa lampau.
Pendidikan merupakan aspek yang sangat penting dan sangat determinan dalam pembentukan karakter dan internalisasi nilai-nilai moral dan etika. Demoralisasi yang terjadi di masyarakat selama ini disinyalir salah satunya disebabkan oleh disorientasi pendidikan dan paradigma yang salah dalam proses pendidikan. Dapat dikatakan bahwa pendidikan yang berlangsung selama ini hanya diartikan sebagai proses transfer dalam pembelajaran dan tidak memperhatikan pembentukan jati diri yang dipengaruhi oleh lingkungan dan akan bertumbuh menjadi karakter yang melandasi pemikiran, sikap dan perilaku peserta didik.
B. Rumusan Dan Pembatasan Masalah
1. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari uraian latar belakang penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dikemukakan identifikasi masalah dalam penelitian ini, adalah sebagai berikut :
a. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan situasi konflik dapat terjadi dikalangan mahasiswa pada tingkat fakultas dan universitas ?
b. Bagaimana pola interaksi konflik yang dilakukan oleh mahasiswa dan fakultas pada tingkat universitas ?
c. Bagaimana reaktualisasi pendidikan karakter pada personal, lingkungan belajar, pelaksanaan pembelajaran dan program-program kerja di tingkat fakultas dan universitas ?
d. Bagaimanakah upaya pengelolaan situasi konflik yang digunakan oleh mahasiswa dan fakultas pada universitas ?
2. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dari penelitian ini adalah :
a. Pola interaksi konflik dibatasi pada : (1) metode resolusi konflik; (2) gaya manajemen konflik; (3) situasi konflik.
b. Mahasiswa dibatasi pada : mahasiswa Papua dan mahasiswa Non Papua
C. Maksud Dan Tujuan Penelitian
1. Maksud Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan mengenai pola interaksi konflik dan reaktualisasi pendidikan karakter di universitas Cenderawasih. Selain itu, penelitian ini dimaksudkan pula untuk mengkaji faktor-faktor dominan yang mempengaruhi reaktualisasi pendidikan karakter dan dapat dijadikan sebagai alternatif dalam pembangunan karakter individu, karakter baik dan karakter bangsa.
2. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui dan mengkaji faktor-faktor yang menyebabkan situasi konflik dapat terjadi dikalangan mahasiswa pada tingkat fakultas dan universitas.
b. Untuk mengetahui dan mengkaji pola interaksi konflik yang dilakukan oleh mahasiswa dan fakultas pada universitas.
c. Untuk mengetahui dan mengkaji reaktualisasi pendidikan karakter pada personal, lingkungan belajar, pelaksanaan pembelajaran dan program-program kerja di tingkat fakultas dan universitas.
d. Untuk mengetahui dan mengkaji upaya pengelolaan situasi konflik yang digunakan oleh mahasiswa dan fakultas pada universitas.
D. Kegunaan Penelitian
Di harapkan dengan pelaksanaan penelitian ini akan dapat memberikan minimal dua kegunaan antara lain :
a. Aspek Pengembangan Ilmu
Secara keilmuan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan meningkatkan mutu pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang berpusat pada pendidikan resolusi konflik melalui pengintegrasian dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, khususnya yang berkaitan dengan membangun karakter mahasiswa yang mampu menyelesaikan konflik secara damai dengan keluaran konflik berupa solusi atas suatu konflik, seperti win & win solution, win & lose solution, serta lose & lose solution. Keluaran konflik juga bisa menciptakan suatu perubahan sistem sosial.
b. Aspek Guna Laksana
Secara praktis penelitian ini diharapakan dapat memberikan masukan yang bermanfaat dalam menentukan program pendidikan resolusi konflik melalui pendekatan komprehensif, yang berarti melibatkan seluruh aktivitas perguruan tinggi yang terintegrasikan ke dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, sehingga masuk ke dalam kegiatan intrakurikuler dan kegiatan ekstrakurikuler, meskipun tidak berdiri sendiri sebagai mata kuliah tersendiri. Pengintegrasian pendidikan resolusi konflik ke dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan ini karena sejalan dengan tujuan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai mata kuliah yang membina mahasiswa menjadi warga negara yang baik, demokrasi dan bertanggungjawab. Selain itu juga dapat memberikan kontribusi dan dijadikan acuan bagi model resolusi konflik yang terjadi di luar masyarakat kampus.
0 komentar:
Posting Komentar